18 Nov 2012

Guru Adalah Dedikasi, Bukan Pekerjaan



Pagi itu pukul 06.45, bel berbunyi tanda pelajaran sudah dimulai. Jam pelajaran pertama adalah Matematika. Saat itu aku masih berada di gerbang. Aku memang mempunyai kebiasaan berangkat agag molor. Pukul 06.30 lebih baru berangkat, padahal jarak rumah dengan sekolah sekitar 20km dan memerlukan waktu lebih dari 20 menit.

Seperti hari hariku biasanya, dalam hati ku bergumam, “yah, telat lagi, biarin deh”. Aku sangat santai mengendarai motorku menuju parkir sekolah. Belum juga berhenti memarkir motor, ku lihat Bu Widarti, wali kelas serta menjadi guru pengajar Matematika di kelasku, berjalan cepat dengan langkah kaki pendek namun gerakan kakinya cepat sekali layaknya orang lari. Jika dihitung dengan sepedometer mungkin kecepatannya sekitar 7km/jam-an. Aku anggap mungkin tidak terjadi apa apa ketika aku telat, seperti guru lain pada umumnya. Tinggal bilang alasannya telat “bangunnya kesiangan”. Udah beres, dan langsung disuruh duduk.

Ternyata semua anggapanku salah. Aku terkejut ketika sampai didepan pintu kelas. Ku ucapkan salam, sama sekali tidak dianggap oleh Bu Wid (sapaan akrab Beliau). Sekali lagi, “assalamualaikum”. Sekali lagi pula tak dijawab. Bu Wid terus melanjutkan kegiatannya mengajar dikelasku. Aku pun berdiri diam didepan pintu. Cukup lama, sekitar 15 menit. Sampai akhirnya, ku kembali mengucapkan salam untuk yang terakhir kalinya,“assalamualaikum”. Teman-temanku menjawabnya,”waalaikum salam”. Bu Wid menoleh, sambil menjawab pelan.

“eh, ada apa ? sana sana, saya tidak mau melihat anak saya pemalas yang suka telat !”

“maaf Bu Wid, saya telat”, jawabku pelan.

“saya sudah tahu kamu telat, kenapa bisa telat ?” jawab Bu Wid dengan jutek seperti biasa.

“bangunnya kesiangan Bu.”, alasan yang telah aku buat jauh jauh dari rumah sebelum berangkat.

“sudah mengerjakan PR ?”. memang kebiasaan Beliau adalah selalu memberikan tugas rumah pada akhir pelajaran. Tak pernah sekalipun Ia tidak memberikan tugas. Karena Bu Wid yakin jika anak didiknya tidak akan belajar di rumah kalau tidak ada PR, tugas, atau besoknya ulangan.

“sudah Bu”, “mana-mana, coba lihat !”.

Ku ambil buku tulisku. Buku tulis merah dengan sampul plastik rapi. Memang peraturan yang Beliau terapkan adalah semua buku pelajaran Matematika, entah buku tulis ataupun buku paket harus disampul rapi. Dan satu lagi yang unik dari Bu Wid, Ia mewajibkan semua siswa mengenakan papan nama saat pelajarannya. Supaya Bu Wid lebih mudah dan cepat mengenal para anak didiknya.

“cek !!”, kata Beliau, kata itu yang sering di ucapkan Beliau untuk memeriksa apakah catatan anak anaknya sudah lengkap atau belum. Beliau memeriksa buku tulisku. Buku tugas dan buku catatan. Semuanya tak luput dari pemeriksaan Beliau.

“nah, ini... Kenapa rumusnya belum diberi kotak ? ini juga belum dikasih warna?”, setiap ada rumus dan hal yang perlu diingat, Beliau menyuruh untuk diberi kotak dan memakai bolpoin warna. Itu selalu yang ditekankan Beliau.

“maaf Bu, belum sempat”.

“sana sana, keluar ! Kerjakan diluar sekarang !”, Beliau langsng menyuruhku keluar hanya untuk sekedar memberi kotak dan warna pada rumus yang kemarin diberikan. Memang gaya mengajar yang Beliau terapkan bukanlah main-main. Tak ada toleransi sedikitpun. Begitu tegas, keras, namun perhatian dan penuh kasih sayang selayaknya ibu. Aku akhirnya keluar dan mengerjakan kekurangan yang belum aku selesaikan di luar kelas. Duduk di depan kelas samping pintu masuk. Kelas kami berhadapan dengan ruang guru, tak sedikit para guru berlalu lalang didepan ruang kelasku. Aku hanya tertunduk malu dan memberikan senyum tipis kepada setiap guru yang lewat. “Bodohnya diriku”, dalam batinku.

Setelah selesai memberi kotak dan memberi warna pada rumus, saatnya masuk kelas. Seperti pagi tadi, untuk masuk kelas pun harus melalui perjuangan pula. Aku harus menunggu sampai Bu Wid selesai menerangkan. Setelah Beliau selesai, lalu Ia memanggilku.

“sudah?”

“sudah Bu”, jawabku.

“iya, bagus. Ya kayak gini lho, kan kalau di lihat enak. Nanti juga gampang buat belajarnya”. Ia memujiku. Seperti tidak terjadi apa-apa. Ia begitu ramah menerangkan. Padahal 5 menit yang lalu Ia begitu melotot melihatku karena telat dan belum selesai mencatat. Hatiku pun kembali tenang. Inilah Bu Wid. Bisa sangat marah, namun jika anak-anak melakukan sesuatu dengan sempurna Ia akan memuji dan sangat ramah penuh kasih sayang.

Keesokan harinya sat pelajaran matematika juga. Namun saya kali ini tidak telat pelajarannya Bu Wid, karena memang pelajarannya jam kedua setelah pelajaran Biologi kesukaanku.

Bu Wid sedang membahas PR yang telah diberikan kemarin. Saat itu aku duduk dibelakang. Jauh dari meja guru. Tapi Bu Wid sedang berdiri di depan dekat papan tulis. Ia tidak pernah sekalipun menerangkan sambil duduk. Tiap kali menerangkan Ia selalu berdiri agar semua murid bisa melihatnya. Kembali ke masalah utama, aku memanfaatkan letakku yang jauh dibelakang untuk sekedar ngobrol sedikit dengan teman sebangkuku, Seto. Aku dan Seto mengobrol masalah SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Ya, sebentar lagi kami akan ujian dan harus meneruskan ke jenjang kuliah. Aku mengobrol asyik sampai aku lupa kalau saat itu kelas sedang membahas PR yang kemarin. Dan parahnya lagi Bu Wid tengah memperhatikanku. Tiba tiba, tanpa basa basi aku dipanggil Bu Wid.

“mas Adhy ?”, Beliau biasa memanggil anak didiknya dengan mas atau mbak. Dan yang sangat mengagumkan, dia begitu hafal nama anak didiknya satu per satu. Ia sangat mengenal karakteristik anak didiknya. Ini yang jarang di temui oleh guru guru lain. Ia selalu mengajari satu per satu anak yang kurang paham sehingga Ia hafal betul anak didik yang di ajarnya. Bukan hanya pada kelas kami, tapi juga semua kelas yang di ajarnya.

“tolong kamu kerjakan nomer selanjutnya !”, perintah Beliau kepadaku.

Aku terkejut, aku bingung harus mengerjakan nomer berapa. Karena saat itu aku sama sekali tidak memperhatikan jalannya pembahasan. Dengan terpaksa dan tanpa berpikir panjang, aku berucap soal yang terakhir aku lihat, yaitu nomor 2. Namun semua teman-teman menertawakanku. Bu Wid pun geleng-geleng kepala.

“itu lho akibatnya kalau ngobrol sendiri tanpa memperhatikan pelajaran, sekarang keluar!! Teruskan ngobrolmu di luar sana saja!!”.

Aku dan Seto pun keluar kelas dengan membawa buku tulis. Betapa malunya diriku. Sudah kedua kalinya aku disuruh keluar. “Kenapa selalu aku yang kena”, gumamku.

Diluar kelas, aku dan Seto hanya bisa saling menatap, merenungi kenapa ini kok bisa terjadi. tak jarang kami pun tertawa lepas menertawai perbuatan kami sendiri.

Kelasku letaknya dibelakang ruang guru. Ruang guru memounyai 2 sisi, yaitu sisi depan dan belakang. Semua sisi mempunyai masing masing satu pintu. Dan sekelilingnya terdapat jendela dari kaca. Itu memungkinkan para guru yang ada didalam dapat memperhatikan para siswanya yang ada diluar. Contohnya memperhatikanku yang sedang dihukum dikeluarkan dari kelas. Dan ditambah lagi banyak guru guru yang berlalu lalang lewat depan kelasku. Tak parahnya, hampir semua guru yang lewat sana pasti menoleh ke arah aku dan Seto. Kami balas dengan senyuman rintih.

“kenapa kalian diluar ?”, Tanya guru kimia saat lewat didepan aku dan Seto.

“hehehe, mengobrol sendiri Bu”, jawab kami malu.

Bu Guru kimia itu pun tersenyum dan berlalu begitu saja. Aku merasa lega.

Yang sangat aku takutkan saat itu adalah jangan sampai nanti Bu Guru bahasa Inggris lewat didepanku. Karena apa ? Beliau adalah Tanteku sendiri. Bisa ramai dirumah nanti kalau Beliau tahu kalau aku dikeluarkan dari kelas. Untungnya sampai sejauh ini masih aman.

20 menit berlalu.

“mas Adhy, mas Seto ? salah berapa ?”,panggil Bu Wid memecah lamunan kami diluar kelas.

“Benar semuanya Bu”, jawab kami berdua.

“coba sini lihat”, panggil Bu Wid.

Aku pun tersenyum bahagia. Akhirnya berakhir juga deritaku diluar kelas.

“tadi ngobrolin apa kok serius sekali ?”, Tanya Bu Wid ingin kejelasan permasalahannya.

“tentang SNMPTN Bu.”, jawab kami mantab.

“bagus itu, tapi tempat dan waktunya yang tidak tepat. Kalian harus tahu saatnya mendengarkan dan saatnya berbicara. Jangan berbicara sendiri saat orang lain sedang menerangkan. Paham ?”, nasehat Bu Wid kepada kami.

“iya Bu, maafkan kami.”,

“jadi, siapa yang jawabanya benar semua ?”, Tanya Bu Wid kepada aku dan Seto.

“(aku dan Seto mengangkat tangan)”,

“Bagus..”, puji Bu Wid, “Tepuk tangan”.

Aku dan seto bertepuk tangan sambil masih didepan kelas. Suasana saat itu pun berubah menjadi riang.
Bu Wid ketika selesai mencocokkan PR pasti bertanya pada kami sambil tersenyum, “siapa salah 1 ? salah 2 ? salah 3 ? salah 4 ? salah semua ? dan siapa benar semua ? (kami semua mengangkat tangan. Tepuk tangan”

Bagi seseorang yang baru mengenal beliau pasti berpikir gaya mengajarnya seperti anak TK. Namun jika sudah dekat, semua itu akan berubah menjadi nilai lebih yang mampu menarik para siswa SMA.

Bel berbunyi dari loadspeaker di atas papan tulis. Inilah saat saat yang kami tunggu. Bel pulang. Jam dinding tertuju pada pukul 13.20 WIB. Pelajaran telah usai. Anak anak kelas lain sudah berebut pintu gerbang untuk segera keluar dari kawasan sekolah. Aku dan teman sekelasku asyik menyaksikan teman-teman yang lain berbondong-bondong pulang. Kenapa tidak ikut pulang ? ya, kami ada jam tambahan dari Bu Wid. Sejak pertama kali mengajar di SMAN 1 Maospati, sebuah SMA favorit di Magetan Jawa Timur, Beliau tak pernah melewatkan yang namanya jam tambahan. Bukan hanya untuk kelas 3, tapi juga kelas 1 dan 2 pun juga di berikan oleh Bu Wid. Selama seminggu penuh secara bergantian tiap kelas menjalani jam tambahan ini. Ini sudah menjadi tradisi Beliau sejak dulu.

Hanya Beliau guru satu-satunya yang menerapkan jam tambahan sendiri. Dan satu hal yang harus dicatat, bahwa tambahan jam pelajaran ini adalah “gratis”. Bu Wid dengan Cuma Cuma mengrobankan waktu dan tenaganya untuk diberikan mengajar kami.

Bu Wid tak hanya mengajar pada sekolah kami, namun kebetulan Beliau juga mengajar di SMA PGRI disamping sekolahku. Dan ternyata, bu WId juga memberikan jam tambahannya kepada siswa SMA PGRI. Bahkan pada jadwal tambahan hari jumat, kelasku harus menunggu dimulainya tambahan pada pukul setengah 3 sore. Karena Bu Wid masih mengisi tambahan di SMA PGRI. Tak bisa dibayangkan bagaimana kondisi setamina Beliau harus dikobarkan.

Bu Wid sangat menganjurkan kami semua untuk selalu mengikuti tambahan jam beliau. Bahkan hal itu dibuktikan beliau lewat sikapnya sewaktu menghadapi sikap kami yang bandel yang ingin tidak mengikuti tambahan. Bu Wid pernah marah besar sampai kami dibiarkan dengan hanya diberi tugas tanpa di terangkan sampai berhari hari karena kami hanya ingin jam tambahan di tiadakan sekali waktu.

Tepat 1 jam setengah jam tambahan berlangsung. Jam tambahan dirasa Bu Wid sudah cukup dan materi yang disiapkan telah tersampaikan. Dan saatnya pulang untuk yang tidak berkepentingan. Kalau yang berkepentingan ? ya tetap tinggal dikelas.

Berkepentingan yang dimaksud adalah yang ada jadwal piket kelas. Tak seperti piket pada umumnya, yang hanya menyapu lantai, membersihkan papan tulis dan mentoknya membersihkan jendela. Kami pun di ajarkan Bu Wid untuk melantai (mengepel lantai) setiap seminggu sekali. Sangat berbeda dengan kelas kelas lain yang tidak di ajar Bu Wid. Mungkin mereka hanya memastikan tidak ada kotoran sampah, namun kelas kami dengan Bu Wid sebagai otaknya memastikan bahwa tidak ada debu. Sangat teliti sekali.

Tak hanya kebersihan, tata letak dan hiasan yang ada dikelas pun semua dibawah asuhan Beliau. Jika ada suatu penempatan hiasan dinding yang kurang pas, maka Beliau akan complain dan menyuruh untuk membetulkan.

Aku, kelas, dan Bu Wid mampu mengukir prestasi bersama selama satu tahun. Adalah juara Umum Kebersihan Kelas dalam rangka HUT sekolah. Kemenangan kelas kami sudah mampu ditebak, para guru dan siswa sudah menjagokan kelas kami untuk menang. Dan memang benar, kami menang.

Ternyata Bu Wid mempunyai sisi lain yang berbeda dalam kehidupan kesehariannya. Seorang diri tinggal dirumahnya, hanya ditemani keponakannya yang juga sekolah di SMAN 1 Maospati. Bu Wid telah lama ditinggal suaminya, Alm. Bpk Sudadi, seorang purnawirawan. Membesarkan seorang anak laki-laki seorang diri, yang sekarang sudah menjadi perwira TNI dan baru saja melangsungkan pernikahan.

Kini Beliau mendedikasikan penuh  hidupnya untuk mengajar, karena baginya, kami para siswa adalah keluarganya. Tepatnya Bu Wid menganggap dan memperlakukan kami layaknya seorang anak.

Beliau lahir pada tanggal 12 Juni 1958 di Bandung. Menjadi seorang guru pada tahun 1986. Sebelum mengajar di SMA ku, SMAN 1 Maospati, Beliau mengajar di salah satu SMA di Pekalongan, SMAN 1 Batang. Itulah penempatan pertama Beliau. Sebuah transformasi yang signifikan. Dari Jawa barat, kemudian berjalan ke ujung timur pulau Jawa.

Beliau termasuk guru senior yang telah mengabdikan hidupnya untuk pendidikan di Indonesia tak hanya bertahun-tahun, namun berpuluh-puluh tahun. Jika mencoba membandingkan dengan guru sekarang, soal kualitas Bu Wid mungkin bisa dikatakan masih dibawah guru sekarang. Namun yang harus dicontoh oleh guru sekarang kepada Bu Wid adalah “dedikasinya”.

Seperti kita tahu, jaman dahulu hanya orang yang mempunyai hati nasionalisme yang ingin mencerdaskan bangsa yang jadi guru. Karena jaman dahulu guru itu gajinya kecil, bahkan tidak dibayar. Namun mempunyai dedikasi penuh yang luar biasa.

Berbeda dengan keadaan sekarang, guru telah menjadi idaman. Profesi guru, sekarang menjadi pekerjaan, bukan pengabdian dan amanat. Jumlah guru sekarang berlimpah, kualitas juga diatas rata-rata, tapi apakah semuanya mampu sepenuh hati berdedikasi dan rela mengorbankan waktu dan tenaga demi anak didiknya. Itu yang menjadi perhatian.

Guru seperti halnya pahlawan, sebuah sebutan pahlawan bukanlah berarti sebuah pekerjaan. Namun lebih mengarah pada penghargaan. Penghargaan karena loyalitas dan dedikasinya dalam bidang tertentu. Sehingga mereka dianugerahkan sebagai pahlawan. Ya, dianugerahkan sebagai pahlawan, bukan dipekerjakan sebagai pahlawan.

Semoga dengan kisah inspiratif dari seorang Bu Wid ini mampu memberi refleksi apa makna sebenarnya tentang guru. Bukan untuk dia, kamu, atau mereka, tapi untuk kita.

***

1 tahun berlalu, kami telah lulus dari SMA. Bu Wid telah melepas kami untuk meneruskan cita-cita kami. Jasa, pelajaran hidup, pembentukan karakter dan didikan dari Beliau akan sangat bermanfaat untuk kami didunia perkuliahan maupun dalam dunia kerja nantinya. Moto Beliau akan selalu kami genggam erat, Kerjakanlah Sesuatu Yang Menghasilkan, Selagi Kita Bisa !

Sebagai wujud terimakasih dan perhatian kami, kami memberikan kejutan di ulang tahun Bu Wid yang ke 54 di kediamannya. Walau hadiah dan persembahan di hari ulang tahunnya yang kami berikan tidak akan cukup menggantikan pengorbanan Beliau selama ini. Namun akan kami tepati janji kami untuk terus mengejar impian setinggi mungkin seperti yang Bu Wid harapkan, Selagi Kita Bisa !





Semua yang kami berikan ini tak seberapa jika dibandingkan yang Ibu berikan, namun cukup mewakili rasa terimakasih kami atas pengorbanan dan kesungguhan Ibu mengajar kami.

Artikel ini diikut sertakan dalam Lomba Blog Gerakan Indonesia Berkibar"Guruku Pahlawanku".

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More